Penetapan Tersangka Kepada Orang Yang Telah Meninggal Dunia

Gambar : Pixabay

Beberapa waktu lalu sempat viral atas penetapan tersangka terhadap almarhum Brigadir J atas tuduhan pemerkosaan kepada seorang istri Jendral Polisi dan ada pula seorang mahasiswa yang telah meninggal dunia kemudian ditetapkan sebagai tersangka oleh Penyidik Kepolisian atas tuduhan kelalaian berkendara yang menyebabkan kerugian bagi orang lain dan diri sendiri, pertanyaannya apakah secara hukum orang yang telah meninggal dunia dapat ditetapkan sebagai tersangka?

Dalam hukum Indonesia tidak mengatur mengenai kemampuan bertanggungjawab namun malah sebaliknya yaitu ketidakmampuan bertanggungjawab sebagaimana disebutkan dalam pasal 44 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana “Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau jiwa yang terganggu karena penyakit tidak dipidana”.

Dalam hal kemampuan bertanggungjawab ada dua faktor, yaitu akal dan kehendak, dengan akal (daya pikir) seseorang dapat membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan perbuatan yang tidak diperbolehkan, sedangkan Kehendak (kemauan) seseorang tersebut dapat menyesuaikan tingkah laku mana yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan. Pada dasarnya hukum pidana Indonesia menganut asas tiada pidana tanpa ada kesalahan (geen straf zonder schuld) sehingga seseorang tidak dapat dipidana tanpa ada kesalahan yang diperbuat olehnya.

Penetapan tersangka pada umumnya ditetapkan setelah melalui proses dan tahapan, dimulai dari penyelidikan guna untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana yang kemudian dilanjutkan penyidikan oleh penyidik guna untuk mencari serta mengumpulkan bukti-bukti yang dengan bukti-bukti tersebut membuat terang tindak pidana yang terjadi guna menemukan siapa tersangkanya.

Pasal 1 butir 14 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyebutkan “Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.”

Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 21/PUU-XII/2014 menyatakan untuk sahnya seseorang ditetapkan sebagai tersangka adalah berdasarkan minimal 2 alat bukti sebagai mana pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana serta memeriksa calon tersangka sebagai saksi.

Bahwa dalam hukum pidana mengenal istilah asas praduga tak bersalah, ketika seseorang diduga melakukan tindak pidana maka terduga pelaku tersebut haruslah di periksa sebagai saksi terlebih dahulu untuk kemudian tetapkan sebagai tersangka ketika terdapat minimal 2 alat bukti, lantas bagaimana terhadap orang yang telah meninggal dunia kemudian ditetapkan sebagai tersangka tanpa adanya pemeriksaan baik sebagai saksi maupun sebagai tersangka adalah kekeliruan, ketidak hati-hatian dan ketidak cermatan hukum, dan bahkan jika memang benar tindak pidana tersebut terjadi apakah dapat dimintakan pertanggungjawaban kepada orang yang telah meninggal tersebut?

Bahwa penghentian penyidikan didasarkan pada 3 alasan sebagaimana pasal 109 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yaitu :

  1. Tidak terdapat cukup bukti;
  2. Peristiwa tersebut bukan tindak pidana; dan
  3. Demi hukum.

Pertanggungjawaban dalam hukum pidana memang berbeda dengan pertanggungjawaban dalam hukum perdata, dalam hukum perdata mengenal adanya pengalihan pertanggungjawab kepada ahli warisnya, berbeda dengan hukum pidana kesalahan hanya dapat dituntut dan dimintakan pertanggungjawaban kepada orang yang melakukan perbuatan pidana yang masih hidup, dengan telah meninggalnya tersangka maka dengan sendirinya penyidikan harus dihentikan dan kewenangan untuk menuntut pidana menjadi hapus sejak tersangka meninggal dunia.

Bahwa hal ini sejalan dengan pendapat Ahli Dr. Mudzakkir, S.H., M.H mengatakan bahwa subjek hukum adalah orang yang masih hidup dan mampu bertanggungjawab yang disampaikan dalam suatu diskusi pada instagram hukumonline, sehingga terhadap orang yang telah meninggal dunia tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban karena orang yang telah meninggal bukanlah sebagai subjek hukum.

Dalam hukum pidana terhadap orang yang kurang sempurna akalnya saja tidak dapat dijatuhi pidana sebagaimana ketentuan pasal 44 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) apalagi terhadap orang yang sudah meninggal dunia hal ini sejalan dengan Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan “Hak menuntut hukuman gugur lantaran sitertuduh meninggal dunia” karena menyangkut dengan dapat atau tidaknya seseorang dimintai pertanggungjawaban pidana, sehingga penyidikan harus dihentikan dengan alasan demi hukum melalui Surat Perintah Penghentikan Penyidikan (SP3).


Membaca dan Menulis Artikel serta Opini

Posting Komentar

0 Komentar