Pengertian Anak Dalam Hukum



A. Pengertian Anak
Anak adalah anugerah yang diberikan oleh Tuhan kepada setiap keluarga untuk dijaga dan dipelihara. Kehadiran seorang anak adalah sebagai pelengkap di dalam suatu keluarga. Anak adalah manusia yang masih kecil, misalnya berusia 6 tahun, usia 6 tahun disini masih bersifat umum, yang belum mempunyai makna yang dapat dikaitkan dengan tanggung jawab yuridis.[1]

Pengertian anak dimata hukum positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa (minderjaring/personunder age), orang yang dibawah umur/keadaan dibawah umur (minderjaringheid/inferiority) atau kerap juga disebut sebagai anak yang dibawah pengawasan wali (minderjarige) ondervoordij). Bertitik tolak pada aspek tersebut diatas ternyata hukum positif Indonesia (ius constitutum/iusoperatum) tidak mengatur adanya unifikasi hukum yang baku dan berlaku universal untuk ketentuan kriteria batasan umur bagi seorang anak.[2]

Undang-Undang Nomor. 17 Tahun 2016 Tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor. 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.[3]

Pengertian Anak menurut Hukum Adat/Kebiasaan : Hukum Adat tidak ada menentukan siapa yang dikatakan anak-anak dan siapa yang di katakan orang dewasa, akan tetapi dalam hukum adat ukuran anak dapat dikatakan dewasa tidak berdasarkan usia, tetapi pada ciri-ciri tertentu yang nyata. Mr.R. Soepomo berdasarkan hasil penelitian tentang hukum Perdata Jawa Barat menyatakan bahwa kedewasaan seseorang dapat dilihat dari ciri-ciri berikut ini :
Dapat bekerja sendiri;
Cakap untuk melakukan apa yang disyaratkan dalam kehidupan bermasyarakat dan dapat bertanggungjawab;
Dapat mengurus harta kekayaan sendiri.
Pengertian Anak menurut Hukum Perdata dibangun dari beberapa aspek keperdataan yang ada pada anak sebagai seseorang subjek hukum yang tidak mampu. Aspek-aspek tersebut adalah : Status belum dewasa (batas usia) sebagai subjek hukum, dan Hak-hak anak didalam hukum perdata.
Pasal 330 KUH-Perdata menyatakan bahwa “Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun, dan lebih dahulu telah kawin.”[4] Dari hal tersebut dapat diartikan bahwa dewasa adalah ketika seseorang sudah berusia 21 tahun penuh atau sudah menikah atau pernah menikah. Pasal 330 KUH-Perdata memberikan pengertian anak adalah orang yang belum dewasa dan seseorang yang belum mencapai usia batas legitimasi hukum sebagai subjek hukum atau layaknya subjek hukum nasional yang ditentukan oleh perundang-undangan perdata. Dalam ketentuan hukum perdata anak mempunyai kedudukan sangat luas dan mempunyai peranan yang amat penting, terutama dalam hal memberikan perlindungan terhadap hak-hak keperdataan anak, misalnya dalam masalah pembagian harta warisan, sehingga anak yang berada dalam kandungan seseorang dianggap telah dilahirkan bilamana kepentingan si anak menghendaki sebagaimana yang dimaksud oleh pasal 2 KUH-Perdata.

Pembicaraan tentang anak dan perlindungannya tidak akan pernah berhenti sepanjang sejarah kehidupan karena anak adalah generasi penerus bangsa dan penerus pembangunan, yaitu generasi yang dipersiapkan sebagai subjek pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan dan pemegang kendali masa depan suatu negara, tidak terkecuali Indonesia. Perlindungan anak Indonesia berarti melindungi potensi sumber daya insani dan membangun manusia Indonesia seutuhnya, menuju masyarakat yang adil dan makmur, materil spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.[5]
Perlindungan terhadap anak pada suatu masyarakat bangsa, merupakan tolak ukur peradapan bangsa tersebut, karenanya wajib diusahakan dengan sesuai kemampuan nusa dan bangsa. Kegiatan perlindungan anak merupakan suatu tindakan hukum yang berakibat hukum. Perlunya ada jaminan hukum bagi kegiatan perlindungan anak. Kepastian perlindungan hukum perlu diusahan demi kegiatan kelangsungan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negatif  yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan kegiatan perlindungan anak.[6]

B. Batasan usia bagi Pemidanaan Anak
Masyarakat yang mempunyai hukum tertulis, biasanya usia anak ditetapkan dalam suatu batasan umur tertentu sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang No 4 tahun 1997 tentang Kesejahteraan anak dan dalam Burgerlijk wetboek (KUH-Perdata) bahwa anak adalah seorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum kawin. Menurut hukum islam, dimana batasan ini tidak berdasarkan atas hitungan usia tetapi dimulai sejak adanya tanda-tanda perubahan badaniah, baik pria maupun wanita.[7]

Undang-undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menegaskan bahwa:
Pasal 20
Tindak pidana dilakukan oleh Anak sebelum genap berumur 18 (delapan belas) tahun dan diajukan ke sidang pengadilan setelah anak yang bersangkutan mencapai batas umur 18 (delapan belas) tahun, tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, anak tetap diajukan ke sidang Anak.
Pasal 21
Anak belum berumur 12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional mengambil keputusan untuk:
a. Menyerahkannya kembali kepada orang tua/wali;atau
b. Mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintahan atau LPKS di instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) bulan.[8]

Baca juga artikel Perlindungan Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana

[1] Bunadi Hidayat, Pemidanaan Anak dibawah Umur, (Bandung, P.T Alumni : 2010) hal. 55
[2] Lilik Mulyadi, Peradilan Anak di Indonesia (Teori, Praktek dan Permasalahannya), (Bandung, Mandar Maju : 2005) hal. 3
[3] Nurliza Fitriyani br. Angkat, Tindak Kebiri Kimia (Chemical Castration) bagi Pelaku Kejahatan Seksual terhadap Anak menurut persepsi Aparat Penegak Hukum (Studi Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Medan), (Medan, USU : 2016) hal. 20
[4] Pasal 330 KUH-Perdata
[5] Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana bagi Anak di Indonesia, (Jakarta, Rajagrafindo Persada : 2013) hal. 1
[6] Ibid, hal. 3
[7] Wagiati Soetedjo, Melani, Hukum Pidana Anak, (Bandung, Refika Aditama : 2013) hal. 24
[8] Pasal 20 dan 21 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Ingin memiliki website yang berkualitas namun murah, hubungi MITRA TEKNOLOGI 48 di WA : 082278749864 atau DM IG : mitra teknologi 48


Membaca dan Menulis Artikel serta Opini

Posting Komentar

0 Komentar