PARADIGMA HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA PIDANA DI INDONESIA






Sejak dahulu dunia ilmu hukum telah diwarnai oleh kontestasi pemikiran hukum. Salah satu aliran yang sangat berpengaruh dalam perkembangan sistem hukum Indonesia adalah aliran positivisme atau analyticalpositivism atau rechtsdogmatiek. (Lili Rasjidi dan Ira Thania, 2004:56-57) Aliran yang mulai berkembang sejak abad kesembilan belas tersebut merupakan antinomi dari konsep naturalisme yang hidup sebelumnya. Pemikiran hukum naturalis yang menempatkan rasionalitas hukum positif manusia harus bersumber pada akal budi yang diturunkan dari Hukum Alam. Konsep hukum modern menempatkan positivisme sebagai mainstream yang harus berhadapan dengan suatu problem masyarakat yang kompleks dan rumit. Artinya, positivisme yang hanya mampu memilah dan menyelesaikan persoalan secara hitam putih atas dasar peraturan perundangundangan, harus berhadapan dengan masalah kehidupan manusia yang sangat kompleks dan tidak secara tepat terakomodasi dalam deretan aturan terkodifikasi. Terutama akibat pandangan positivisme yang menempatkan hukum sepenuhnya dipisahkan dari keadilan dan anasir-anasir di luar hukum. Positivisme meyakini bahwa hukum adalah closed logical system. (E. Sumaryono.2002:79)

Apabila dibahas dalam konteks hukum, positivisme dalam hukum yang akhirnya melahirkan apa yang kita sebut sebagai hukum positif. Lahir sebagai respon terhadap hukum alam. Positivsme dalam hukum yang mengonsepsikan hukum sebagai perangkat ketentuan tertulis (konkret), dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang dan mengandung perintah, menolak keberadaan hukum alam (Natural Law) karena keberadan hukum alam didasarkan hanya pada pikiran keilahiaan maupun akal manusia, yang ada pada pikiran abstrak (tidak konkret). Ketika kaum positivsme tersebut mengamati hukum seagai objek kajian. Iangsung menganggap hukum hanya sebagai gejala sosial. Kaum positivisme pada umumnya hanya mengenal ilmu pengetahuan yang positif. Demikian pula positivisme hukum hanya mengenal satu jenis hukum, yakni hukum positif. Positivisme hukum selanjutnya memunculkan analytical legal positivisme, analytical jurisiprudence, pragmatic positivisme, dan kelsen’s pure theory of law.

Gelombang kritik terhadap positivisme hukum berangkat dari premis bahwa suatu sistem tidak mungkin sepenuhnya bersifat tertutup. Sistem yang tertutup sama sekali akan menyulitkan penyesuaian kaidah-kaidah yang terjadi akibat adanya perubahandalam masyarakat. Suatu sistem dinyatakan tidak akan lama bertahan hidup jika tidak mendapat dukungan sosial yang luas. Dengan demikian sistem haruslah bersifat terbuka, karena sistem tidak dapat dilepaskan dari sistem sosial lainnya. Memisahkan hukum dengan moral seperti rasa keadilan yang dianut positivisme tidak dapat dianut lagi oleh karena rasa keadilan tersebut merupakan cerminan jiwa kehidupan masyarakat dan aspek penegakan yang termuat dalam kodifikasi tidak akan berarti tanpa adanya dukungan moralitas. Inilah yang menjadi kritikan Hart terhadap Jhon Austin antara hukum dan moralitas meski Hart aliran positivisme tetapi dia adalah pemikiran hukum modren. 

Beranjak dari terdapatnya kontestasi dalam pemikiran hukum dalam khasanah ilmu hukum, merupakan suatu hal yang penting untuk melihat apakah kontestasi tersebut juga memengaruhi atau merebak dalam kehidupan nyata pelaksanaan hukum. Terutama dalam koridor putusan pengadilan sebagai benteng terakhir pencari keadilan, yang saat ini masih terdapat tudingan bahwa harapan terhadap lembaga peradilan belum sepenuhnya dapat memuaskan seluruh pihak. Tudingan kepada pranata peradilan secaraotomatis dialamatkan kepada hakim sebagai penguasa utama dalam proses pengadilan. Profesi hakim sebagai salah satu bentuk profesi hukum sering digambarkan sebagai pemberi keadilan. Oleh karena itu, hakim juga digolongkan sebagai profesi luhur (officium nobile).

( Sidharta. 2006:4) Hakim sebagai figur sentral dalam proses peradilan senantiasa dituntut untuk mengasah kepekaan nurani, memelihara kecerdasan moral dan meningkatkan profesionalisme dalam menegakkan hukum dan keadilan bagi masyarakat. Terutama dalam posisinya yang senantiasa harus memberi putusan dengan pernyataan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kebebasan Hakim dalam memutus suatu perkara merupakan hal yang mutlak yang dimiliki hakim sebagaimana tercantum dalam Undangundang Nomor. 48 Tahun 2009. Kekuasaan Kehakiman pada Pasal 5 ayat (1). Salah satu tudingan yang dialamatkan kepada profesi hakim adalah seringnya terdapat putusan-putusan yang tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat (substantive justice) yang disebabkan masih digunakannya paradigma positivisme dalam menangani suatu perkara. Masih banyak ditemukan hakim yang dalam pengambilan keputusannya hanya menganut pola pikir positivistik yang sangat didominasi oleh perspektif legalisme, formalisme, dan dogmatisme, karena semua putusan harus diambil bertumpu pada bunyi peraturan semata.

 Namun, dapat ditemukan pembelaan hakim yang memandang asas legalitas di atas segalanya. Prinsip legalitas yang diabstraksi dari pemaknaan Hans Kelsen. (Hans Kelsen. 2009:17–18)tentang “keadilan berdasarkan hukum”. Bahwa keadilan dalam pengertian yang bermakna legalitas adalah suatu peraturan umum yang benar-benar diterapkan kepada semua kasus yang menurut isi peraturan tersebut harus diterapkan. Peraturan itu tidak adil jika diterapkan pada suatu kasus tetapi tidak diterapkan pada kasus lain yang serupa. Sehingga keadilan adalah suatu kualitas yang berhubungan bukan dengan isi dari suatu tatanan hukum positif (law in book), melainkan pada penerapannya (law in action). Perbuatan seseorang dinyatakan adil atau tidak adil dalam arti berdasarkan hukum, adalah perbuatan tersebut sesuai atau tidak sesuai dengan suatu norma hukum yang dianggap absah oleh subjek yang menilainya. 

Ketidakadilan kerap terjadi dalam proses peradilan yang berlangsung di Indonesia. Seorang wanita tua yang berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah memungut tiga buah kakao, lalu dihukum dengan tuduhan pencurian. Hukuman yang diterimanya lebih lama daripada para koruptor yang mengambil uang dalam jumlah banyak yang bukan miliknya. 

Kelemahan hukum di Indonesia bagi saya berawal justru dari konsistensi yang dipaksakan dalam menerapkan hukum kolonial Belanda. Hukum Indonesia jadi sangat positifistik. Padahal dapat kita lihat dalam posisi Hart bahwa “jalan tengah” antara formalisme dan realisme adalah mungkin secara teoritis dan bahkan secara praktik. Bahkan dengan nilai-nilai sederhana yang disebutkan Hart (social interest, social and political aims, and standards of morality and justice), Posisi “jalan tengah” yang dipilih Hart patut dipertimbangkan. Dan kasus yang lain adalah pada tahun 2010 seorang ibu yang bernama manda di Jakarta tega membunuh anaknya akibat faktor ekonomi. Kasus-kasus yang tergolong dengan hard case di Indonesia sebebnarnya cukup banyak.



Ditulis Oleh Hamas Maulana
Dirujuk dari berbagai Sumber 
Membaca dan Menulis Artikel serta Opini

Posting Komentar

0 Komentar